September 13, 2009

Tantangan untuk Partai Komunis



KETEGANGAN sejak awal Juli lalu di Xinjiang ternyata belum usai. Setelah suasana reda karena tindakan aparat keamanan yang tak kenal ampun, kini suasana penuh ketegangan muncul lagi.

Kali ini yang turun ke jalanan bukan penduduk asli Uighur, tapi justru para imigran dari golongan mayoritas suku Han. Alasan protes adalah tuduhan bahwa kepala polisi dan ketua partai lokal kurang tegas mengambil langkah pengamanan. Mereka menuntut kedua pejabat teras propinsi itu segera dicopot.

Keadaan itu dipicu serangkaian serangan terhadap orang Han. Modusnya, menurut tuduhan itu sungguh unik. Para penyerang yang diidentifikasi orang Uighur menyerang imigran dengan jarum suntik berisi narkoba.

Namun, para wartawan dan pengamat Barat yang meliput suasana jalanan di Urumqi, ibukota Xinjiang, meragukan tuduhan itu.

Namun, hasilnya sungguh mencengangkan. Kedua pejabat utama propinsi itu dicopot atas desakan publik — sesuatu yang jarang terjadi di negara otoriter seperti Cina. Padahal ketua partai cabang Xinjiang adalah orang dekat Presiden Hu Jintao.

Pergolakan di Xinjiang mencerminkan gangguan keutuhan Republik Rakyat Cina (RRC). Padahal, pada 1 Oktober tahun ini RRC akan merayakan HUT ke-60. Dan rencananya itu akan dirayakan besar-besaran dengan tema sistem kepemimpinan harmonis di bawah PKC.

Secara teoritis, dilihat dari segi demografis, RRC merupakan kesatuan dan persatuan solid. Dengan penduduk 1,3 miliar, golongan minoritas yang dalam kosa kata politik Cina mendapat sebutan sebagai 'bangsa-bangsa minoritas' terdiri dari 55 kelompok.

Lantaran jumlah golongan minoritas—Uighur, Tibet, Mongol, Manchu dan lainnya 'hanya' 9% saja. Tapi, mengatur 100 juta orang tak semudah membalikkan telapak tangan. Itu terbukti dengan terjadinya beberapa pergolakan akhir-akhir ini, khususnya di Tibet dan Xinjiang.

Masalah besar lain, kaum minoritas itu mendiami 60% dari wilayah Cina yang kaya sumber alam.

Kebijakan yang diambil pemerintah Cina (baca: PKC) adalah mengakui eksistensi mereka, memberi kebebasan terbatas untuk memamerkan ciri budaya dan adat istiadat di bawah slogan 'sistem daerah otonomi bebas'. Tapi itu semua dijalankan dalam kerangka sistem pengawasan ketat terselubung.

Pada dasarnya kebijakan PKC paling tidak sejalan dengan sebutan multikulturalisme.

Namun, dengan datangnya reformasi kebijakan itu tampaknya tengah menghadapi tantangan serius. Salah satu faktor dalam reformasi yang mengganggu keharmonisan hubungan mayoritas-minoritas adalah swastanisasi. Di bawah kebijakan ini pemerintah pusat menjual BUMN, terutama yang tak efektif menghasilkan duit.

Karena orientasi perusahaan swasta adalah keuntungan, maka di bawah slogan 'efisiensi' mereka melakukan perampingan, dan hasilnya adalah pengangguran.

Itu terjadi tidak hanya di sejumlah propinsi utama kaum mayoritas, namun juga di wilayah otonomi bebas. Untuk mengatasinya, langkah yang diambil pemerintah adalah dengan migrasi dari kota besar yang pemukimnya orang Han, ke wilayah kaum minoritas. Dengan kebijakan ini diharapkan para imigran mampu menempuh hidup tanpa membebani pemerintah.

Akibat dari kebijakan migrasi itu adalah konflik antaretnis akibat dari perebutan nafkah. Dari situlah muncul gerakan yang oleh pemerintah Cina dituduh sebagai separatisme. Adapun keluhan dari pihak minoritas adalah pembatasan atas kegiatan agama, budaya, dan komersial mereka. Kadatangan imigran telah menyebabkan mereka makin terdesak. Keluhan orang Uighur dan Tibet merupakan hal umum terjadi di wilayah otonomi lain. Jadi, buat mereka status daerah otonomi tak lebih dari istilah basa-basi.

Ancaman terhadap keutuhan persatuan juga terjadi di wilayah yang dihuni mayoritas. Otonomi daerah telah menyebabkan rivalitas tak sehat antara propinsi pantai dengan pedalaman. Ditambah lagi pengangguran dan kesenjangan penghasilan antara golongan yang diuntungkan dan yang tersingkir akibat swastanisasi.

Secara historis ada perbedaan hakiki antara Cina Utara dan Cina Selatan. Secara tradiisional, akibat pergaulan dan kontak lebih intens dengan bangsa dan kebudayaan Barat, orang Selatan biasanya lebih terbuka dan lebih maju dalam pemikiran. Gejala tradisi ini terlihat pada zaman ketika reformsi dimulai: propinsi selatan telah meninggalkan propinsi Utara dalam banyak segi.

Pada awal abad 20, kaum terpelajar dari Selatan memimpin revolusi, mengakhiri sistem dinasti, dan mendirikan republik. Atas dasar faktor kesejarahan itu, tak bisa dikesampingkan kemungkinan kalau tokoh-tokoh politik Selatan akan memecahkan tradisi pemerintahan komunis yang sangat tertutup, keras, dan tak toleran terhadap perbedaan pendapat.

Hal-hal yang dikemukakan di atas tak bakal membuat Cina sebagai negara akan bubar jalan. Tapi, kemungkinan tampilnya sebuah Cina dengan pemerintahan lebih terbuka, toleran, dan bertanggung jawab terhadap publik akan tercipta. Tunduknya pemerintah pusat terhadap tuntutan publik untuk memecat dua pejabat di Xinjiang, paling tidak menunjukkan adanya kemungkinan itu, walaupun prosesnya akan lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Template by NdyTeeN Redesign Mung Bisnis